judul gambar
Memuat...

Minggu, 06 Desember 2015

Oleh: Em. Syuhada'*)

MENULIS dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Menulis tanpa membaca (baik tekstual maupun kontekstual) akan hanya melahirkan tulisan yang kering, dangkal, dan bahkan ngawur. Sebaliknya, membaca tanpa menulis mengakibatkan ide-ide yang berkeliaran hanya mengendap di dunia tanpa rupa. Jika sekelibatan ide itu dimunculkan melalui lisan umpamanya, boleh jadi ia akan melayang-layang sekejap saja termakan waktu. Maka betul jika pepatah arab menuturkan,”ilmu ibarat hewan buruan, tulisan adalah tali kekangnya. Maka, ikatlah hewan buruanmu dengan tali kekang yang kukuh.”

Agak menghela nafas ketika saya membaca tulisan M. Iqbal Dawami dalam rubrik ini minggu yang lalu (Menjadi Guru yang Menulis, 29/11/2015). Ditengah euforia ucapan selamat yang selalu mengiringi perayaan hari guru tiap tanggal 25 November, Iqbal menyentil kondisi para guru kita yang sebagaian besar masih belum memiliki gereget dalam dunia tulis-menulis. 

Kata Iqbal, Pak Guru lebih memilih berbicara di depan murid-muridnya ketimbang suntuk mengolah kata dalam upaya transfer pengetahuan. Kalau toh misalkan ada aktifitas kepenulisan, itu sejatinya hanya menggugurkan ‘kewajiban’ demi kenaikan pangkat semata. Menulis belum menjadi kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran. Jika pangkat telah naik, maka menulis akan mandek sampai pada kenaikan pangkat berikutnya. Begitu seterusnya.

Sayangnya, apa yang disampaikan MID itu tidak disertai dengan data statistik yang memadai. Terkait hal itulah, saya tiba-tiba teringat data lama tentang kondisi pengunjung perpustakaan di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Tujuh tahun silam, tepatnya september 2008 di Mojokerto, dari total pengunjung perpustakaan sejumlah 14.610 orang, jumlah guru yang tercatat mengunjungi perpustakaan hanya 60 guru laki-laki dan 170 guru perempuan. Peringkat tertinggi didominasi oleh kalangan pelajar (6.200 orang) dan mahasiswa (1.510 orang), serta masyarakat umum (5.830 orang). (Radar Mojokerto, 12/10/2008)

Pertanyaannya, ada apa dengan guru? Mengapa kehadirannya di perpustakaan begitu minim? Pertanyaan tersebut penting dijawab karena guru adalah sosok yang diharapkan mampu meningkatkan minat baca di kalangan anak didik. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan ghirah membaca jika pak guru sendiri tidak memiliki minat baca?

Mungkin data tersebut tak bisa dijadikan barometer, karena bisa saja pak guru memiliki perpustakaan pribadi yang jauh lebih representatif dibanding perpustakaan umum yang kadang tak sesuai dengan yang diharapkan. Tapi bukankah ada kemungkinan, bahwa ketika perpustakaan bukan menjadi tempat utama erat kaitannya dengan minat baca yang memang rendah. Dus, jangan harapkan pak guru bisa dan mau menulis, jika kegiatan membaca belum menjadi kegiatan utama dalam nafas sehari-harinya.

Dari sini dapat dipahami, ketika Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 yang mengatur Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya mulai diterapkan, banyak guru kelabakan dan kebakaran jenggot. Bahkan PGRI selaku organisasi yang mewadahi guru berjuang keras agar permen tersebut direvisi. Bagaimana tidak. Sejak permen tersebut diterapkan tahun 2013, tidak sedikit guru yang tertahan di pangkat tertentu karena tak bisa mengumpulkan kredit point dari unsur publikasi ilmiah dan karya inovatif sebagaimana yang dipersyaratkan.

Tengok misalnya kasus yang terjadi di Tasikmalaya baru-baru ini. Dari 9000 guru yang mengusulkan kenaikan pangkat, hanya 271 yang dinyatakan lolos, sementara 8.729 sisanya gagal disebabkan materi yang digunakan untuk penulisan karya tulis lebih banyak copy paste. Padahal plagiasi adalah kejahatan intelektual yang semestinya tidak pantas dilakukan, apalagi oleh seorang guru. Sungguh memprihatinkan bukan?

Maka tak ada jalan lain, sudah saatnya pak guru berbenah. Sudah waktunya pak guru melirik dunia tulis agar desah keilmuan yang dimilikinya melampaui ruang dan waktu. Bukan hanya sekedar urusan naik pangkat, tapi ada kenikmatan tersendiri yang bisa dirasakan ketika seseorang berasyik-masyuk dengan rerimbunan jagad kata, dan tentu saja pak guru bisa mewariskan ilmu pada generasi sesudahnya.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan bergabung di komunitas tertentu yang concern terhadap kepenulisan, baik offline maupun online. Disamping PGRI, juga ada Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA). AGUPENA adalah asosiasi yang didirikan oleh para pemenang lomba penulisan naskah buku bahan bacaan yang diselenggarakan pusat perbukuan itu memiliki semangat membangun peradaban dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan penulisan karya tulis.
Maka dari itulah, tak usah ditunda-tunda. Menulislah sekarang juga, wahai Pak dan Bu Guru, agar namamu abadi sepanjang zaman.(*)

*) Em. Syuhada’, Guru SDN Talunrejo 3, Sekretaris Umum PGRI Cabang Bluluk Lamongan
Sumber : Rubrik dibalik buku Jawa Pos, 6/12/2015

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Blog

DAFTAR ISI

Arsip Blog

Flag Counter

Flag Counter

Pengikut

Breaking News

Artikel Populer Minggu Ini

Lomba

More on this category »

Esai

More on this category »

Resensi Buku

More on this category »